Keadilan organisasional mengalami perkembangan yang sangat pesat pada beberapa tahun terakhir. Persepsi keadilan distributif, prosedural, intepresonal dan informasional yang dipandang sebagai komponen utama keadilan organisasional dihubungkan dengan beraneka ragam hasil dari suatu pekerjaan, seperti pelaksanaan suatu kegiatan, perilaku suatu kelompok, dan sikap kerja dan stress (Cropanzano el al. 2001; dan Judge dan Colquitt, 2004). Keadilan itu dapat dimaknai dengan sesuatu yang konsisten, tidak memihak, dan representative dalam mengikutsertakan para karyawan (Greenberg, 1986), serta saling berinteraksi antar interpersonal yaitu antara bawahan dengan atasan (Judge dan Colquitt, 2004).
Hasil beberapa studi empris membuktikan bahwa keadilan berkorelasi dengan stress. Seperti studi yang dilakukan Greenberg dalam Cropanzano et. al, (2000) mengenai konsep keadilan dalam organisasi. Hasil studi tersebut menyimpulkan bahwa secara garis besar para karyawan akan mengevaluasi keadilan dalam tiga klasifikasi peristiwa yaitu (1) keadilan distribusi (hasil yang mereka terima dari organisasi); (2) keadilan prosedural (kebijakan formal atau proses dalam pencapaian sesatu yang sudah dialokasikan organisasi); dan (3) keadilan interpersonal (Sikap/keputusan yang diambil oleh pembuat keputusan antar personal dalam organisasi), dan sejumlah informasi yang diterima/didapatkan di dalam organisasi.
Moore, dan Okun dalam Greenberg, (1990) menegaskan bahwa keadilan organisasional sebagai syarat utama dalam memahami efektifnya fungsi organisasi dan kepuasan pribadi dari individu-individu yang mereka pekerjakan. Kemudian Schaubroeck, dan Aryee, (2002) menyatakan bahwa persepsi keadilan sudah lama telah menjadi variable explanatory dalam penelitian organisasi antara lain keadilan organisasional menggambarkan persepsi individu atau kelompok tentang kewajaran perilaku yang mereka terima dari sebuah organisasi dan reaksi perilaku mereka terhadap persepsi tersebut. Sementara, Folger dan Cropanzano dalam Parker dan Kohlmeyer (2005), menjelaskan bahwa keadilan organisasi merupakan motivator penting dalam suatu lingkungan pekerjaan. Ketika individu merasakan suatu ketidakadilan, moral mereka akan turun, mereka kemungkinan besar akan meninggalkan pekerjaannya, dan bahkan mungkin membalas dendam terhadap organisasinya.
Walaupun banyak studi yang telah dilakukan dalam bidang psikologi dan manajemen yang menunjukkan pentingnya pemahaman tentang keadilan organisasi, namun belum banyak studi yang membahas tentang keadilan organisasi. Artikel-artikel penelitian yang komprehensif menunjukkan bahwa keadilan organisasi adalah organisational positif terkait dengan hasil yang menguntungkan organisasi seperti komitemen organisasi, kepuasan dan perilaku organisasi. Hubungan seperti ini akan meningkatkan keadilan, komitmen, kepuasan dan perilaku individu terhadap organisasi. Sebaliknya, ketidakadilan organisasi telah dikaitkan dengan hasil organisasi negatif seperti perilaku kontraproduktif dan menurunnya kinerja (withdrawal performance). Untuk organisasi, hasil negatif ini dapat menghasilkan konsekuensi berbahaya termasuk biaya, turnover, turunnya produktivitas, dan ketidakhadiran karyawan (Janssen, 2004).
Parker dan Kohlmeyer (2005) menjelaskan keadilan organisasional meliputi persepsi anggota organisasi tentang kondisi keadilan yang mereka alami dalam organisasi, secara khusus tentang rasa keadilan yang terkait dengan alokasi penghargaan organisasi seperti gaji dan promosi. Rasa keadilan akan muncul ketika otoritas organisasi konsisten dan tidak bias dalam pengambilan keputusan organisasi terutama terkait dengan alokasi gaji dan promosi. Aturan organisasi yang tidak konsisten dan bias terhadap individu adalah suatu tindakan diskriminasi, sehingga muncul rasa diskriminasi (perceived discrimination) oleh individu.
Keadilan organisasional (organizational justice) inilah yang menjadi pokok kajian utama dalam artikel ini yang berjudul “Organizational Justice and Stress: The Mediating Role of Work–Family Conflict”. Tapi sebelumnya saya mencoba untuk menguraikan terlebih dahulu berdasarkan isi artikel dengan harapan dapat menentukan fokus utama yang disajikan oleh Judge and Colquitt (selanjutnya akan disingkat dengan JC). Meski dengan berbagai keterbatasan yang ada, saya berharap dapat menemukan hubungan yang lebih spesifik antara keadilan organisasional (organizational justice) dan stress yang dimoderating oleh work-family conflict.
Ringkasan
Masalah keadilan organisasional menjadi perhatian utama dalam artikel JC ini. Dalam pengaturan kerja, karyawan sering mengukur apakah penghargaan yang mereka terima sesuai dengan kontribusi yang mereka berikan terhadap organisasi jika dibandingkan imbalan yang diterima oleh rekan-rekan karyawan yg lain. Karyawan juga menilai kewajaran prosedur pengambilan keputusan yang digunakan oleh wakil-wakil organisasi, untuk melihat apakah prosedur tersebut konsisten, tidak memihak, akurat, dan lain-lain. Akhirnya, karyawan menganggap perlakuan interpersonal mereka terima sebagai prosedur yang dilaksanakan oleh authority figures (Bies dan Moag; Greenberg dalam Judge dan Colquitt, 2004).
Penelitian tentang keadilan organisasi telah menunjukkan bahwa kekhawatiran tentang keadilan dapat mempengaruhi sikap dan perilaku karyawan (Colquitt dan Greenberg, 2003). Keadilan berfokus pada keadilan distributif, keadilan dianggap hasil keputusan (Leventhal, 1976), dan keadilan prosedural, keadilan dirasakan proses pengambilan keputusan (Leventhal, 1980; Thibaut dan Walker, 1975). Keadilan interpersonal (ketulusan dan menghormati) terfokus pada kerja baru karyawa dan keadilan informasi (yang memadai, jujur penjelasan), yang sering digabungkan di bawah interactional justice heading (Greenberg, 1993). Ini dimensi keadilan telah dikaitkan meta-analitis untuk varietas hasil, termasuk kepuasan, komitmen, kewarganegaraan, dan withdrawal (Colquitt, at al. 2001).
Sementara dampak dari dimensi keadilan telah banyak dibuktikan, teoritis yang mendasari mekanisme efek-efek tersebut. Beberapa berpendapat mengatakan bahwa perlakuan yang adil menegaskan kembali status karyawan dan rasa harga diri sementara meningkatkan dianggap legitimasi otoritas organisasi (Tyler dan Blader, 2000). Orang lain telah menyarankan bahwa keadilan bertindak sebagai proksi atas kepercayaan karyawan dengan menyediakan insentif untuk bekerja sama dalam menghadapi ketidakpastian (Lind dan Van den Bos, 2002). Namun, penjelasan untuk efek keadilan sebagai stressor-sebagai aspek lingkungan kerja yang menyebabkan karyawan untuk keraguan kemampuan mereka untuk mengatasi tuntutan pekerjaan (Vermunt dan Steensma, 2001). Perspektif ini mengakui bahwa perlakuan yang tidak adil dapat memiliki fisiologis mendalam-bahkan-efek pada karyawan, sehingga mengganggu sikap kerja dan perilaku.
Sress kerja merupakan istilah umum yang menunjuk pada tekanan dan masalah yang dialami oleh setiap orang dalam kehidupan kerjanya. Konsep stress mengandung dua makna yaitu positif dan negatif. Jika orang dapat mengatur atau mengelola stress dengan baik maka secara psikologis akan menumbuhkan semangat dan motivasi untuk bekerja. Sebaliknya jika stress terlalu berlebihan akan menyebabkan terganggunya kesehatan baik secara fisik maupun nonfisik.
Stress yang sering dikeluhkan orang biasanya merupakan suatu perasaan tegang atau tekanan yang dialami ketika tuntutan yang dihadapkan melebihi kekuatan yang ada pada diri kita. Saat ini, reaksi stress pada umumnya berhubungan dengan ancaman finansial, emosional, mental, dan sosial. Oleh karena itu pimpinan suatu organisasi perlu mengelola stress agar karyawan mampu bekerja produktif sehingga kinerja organisasi dapat dicapai secara maksimal. Menurut Szilagyi (1990) stress adalah pengalaman yang bersifat internal yang menciptakan adanya ketidakseimbangan pisik dan psikis dalam diri seseorang sebagai akibat dari faktor lingkungan eksternal organisasi atau orang lain. Stress kerja merupakan perasaan yang menekan atau merasa tertekan yang dialami karyawan dalam menghadapi pekerjaan. Stress kerja ini tampak dari simpton antara lain emosi tidak stabil, perasaan tidak tenang, suka menyendiri, sulit tidur, merokok yang berlebihan, tidak bisa rileks, cemas, tegang, gugup, tekanan darah meningkat dan mengalami gangguan pencernaan. Penyebab stress kerja antara lain beban kerja yang dirasakan terlalu berat, waktu kerja yang mendesak, kualitas pengawasan kerja yang rendah, iklim kerja yang tidak sehat, autoritas kerja yang tidak memadai yang berhubungan dengan tanggung jawab, konflik kerja, perbedaan nilai antar karyawan dengan pimpinan yang frustasi dalam kerja.
Stress yang terjadi berlarut – larut dapat menyebabkan karyawan mengalami burn out. Stress dan tekanan kerja dapat mengalami pasang surut dan berubah–ubah. Dengan kata lain , hari ini individu mengalami stress, esok harinya bisa kembali normal. Sedangkan burn out terjadi secara perlahan melalui proses waktu cukup lama. Atau stress merupakan proses adaptasi sementara terhadap tekanan lingkungan sehingga bersifat fluktuatif dan tidak menetap, serta tidak disertai perubahan sikap dan perilaku. Burnout merupakan tahap akhir dari ketidakmampuan individu untuk beradaptasi dengan tekanan lingkungan, dimanan proses terjadinya berjalan perlahan dan waktu yang lama, serta terjadi perubahan sikap–perilaku yang negatif pada orang lain dan pekerjaannya. Burnout bukanlah kondisi yang bersifat temporal dan terjadi secara bertahap, perlahan dan menetap dalam jangka waktu yang lama.
Dalam artikel JC ini akan meneliti dua permasalah yaitu hubungan antara keadilan organisasional dan persepsi karyawan terhadap stress stress dan dikaitan dengan keempat dimensi keadilan. Kedua, hubungan potensi stress dengan stres hubungan. Jika karyawan percaya bahwa jika organisasi memperlakukan mereka dengan adil, makan akan mengurangi stress. Dan dimediator oleh work family conflict.
Hasil
Artikel JC ini mengunakan 4 indikator variable keadilan organisasional yaitu distributive justice, procedural juce, intrepersonal justice dan informative justice terhadap work-Family Conflict. Dalam penelitian ini JC mengunakan work-Family Conflict sebagai mediating variable. Di samping itu juga JC menggunakan tiga variabel kontrol yaitu presence of work-Family Policies, Use of Work-Family Policies dan Job Satisfaction. Hasil ini didapatkan bahwa distributive justice, procedural justice, intrepersonal justice mempunyai hubungan yg negatif terhadap sress. Sedangkan informative justive ini bertolak belakang dengan hipotesis yang dikemukan JC ini, artinya keadilan informatif mempunyai hubungan yang positif terhadap stress. Kemudian JC mengukur variable moderating (work-Family Conflict) ini dengan stres, hasil yang didapat juga tidak sesuai dengan hipotesis, dalam artinya kedua variable ini mempunayi pengaruh positif.
Hasil temuan JC ini di dukung oleh penelitian yang dilakukan Donovan (2001) berpendapat bahwa karyawan yang bekerja di sebuah organisasi akan berharap bahwa organisasi tersebut akan memperlakukan mereka dengan adil. Dalam artikel ini, dua sudut pandang mengenai keadilan akan digunakan:
· Menurut Equity Theory (Adams, dalam Donovan, 2001), karyawan menganggap partisipasi mereka di tempat kerja sebagai proses barter, di mana mereka memberikan kontribusi seperti keahlian dan kerja keras mereka, dan sebagai gantinya mereka mengharapkan hasil kerja baik berupa gaji ataupun pengakuan. Di sini, penekanannya adalah pada persepsi mengenai keadilan antara apa yang didapatkan karyawan relatif terhadap apa yang mereka kontribusikan.
· Cara lain untuk melihat keadilan organisasi adalah melalui konsep Procedural Justice. Di sini, penekanannya adalah apakah prosedur yang digunakan untuk membagikan hasil kerja pada para karyawan cukup adil atau tidak (Donovan, 2001).
Keadilan distributif dan prosedural dikembangkan dari literatur-literatur equity theory (Schminke et al., 1997). Keadilan distributif didefinisikan sebagai persepsi karyawan tentang keadilan pendistribusian sumberdaya-sumberdaya organisasi, sedangkan keadilan prosedural berhubungan dengan keadilan dan kelayakan prosedur-prosedur yang digunakan untuk mengalokasikan keputusan-keputusan dalam organisasi (Aquino, 1999). Meskipun konsep tentang keadilan distributif dan keadilan prosedural terpisah antara satu dengan yang lainnya (Hartman et al., 1999), penelitian di bidang perilaku kerja karyawan cenderung melibatkan kedua konstruk tersebut sebagai variabel-variabel yang mempengaruhi reaksi karyawan (Tang dan Sarsfield-Baldwin, 1996).
Literatur-literatur tentang teori keadilan distributif menyatakan bahwa individu-individu dalam organisasi akan mengevaluasi distribusi hasil-hasil organisasi, dengan memperhatikan beberapa aturan distributif, yang paling sering digunakan adalah hak menurut keadilan atau kewajaran (Cohen, dalam Gilliland, 1993). Teori kewajaran (equity theory), mengatakan bahwa manusia dalam hubungan-hubungan sosial mereka, berkeyakinan bahwa imbalan-imbalan organisasional harus didistribusikan sesuai dengan tingkat kontribusi individual (Cowherd dan Levine, 1992). Berdasarkan equity theory, teori tentang keadilan distributif berhubungan dengan persepsi karyawan terhadap kewajaran dan keseimbangan antara masukan-masukan (misalnya usaha yang dilakukan dan skill) yang mereka berikan dengan hasil-hasil (misalnya gaji) yang mereka terima. Pada saat individu-individu dalam organisasi mempersepsikan bahwa rasio masukan-masukan yang mereka berikan terhadap imbalan-imbalan yang mereka terima seimbang, mereka merasakan adanya kewajaran (equity). Di sisi lain, ketidak-seimbangan rasio antara masukan dan imbalan menggiring mereka pada persepsi akan adanya ketidak-wajaran (Cowherd dan Levine, 1992).
Wallace (2005), meneliti tentang model job demand control (JDC) yang digunakan untuk memprediksi depresi dan work to family conflict untuk married lawyer yang bekerja secara full time. Di sini dijelaskan stress di tempat kerja (job stress) dan depresi yang dialami oleh individu dapat menimbulkan konflik antara pekerjaan dan keluarga (work to family conflict). Sehingga model JDC dapat menjelaskan bagaimana terjadinya work – family conflict dan dapat diatasi dengan social support dan dukungan dari perusahaan untuk meminimalkan terjadinya konflik untuk mengurangi stess pada diri karyawannya.
Kesimpulan
Keadilan Organisasional (Organizational justice) dengan menggunakan 4 indikator variable distributive justice, procedural justice, intrepersonal justice dan informative justice mempunyai hubungan negative terhadap work-Family Conflict , kecuali informative justice yg mempunyai korelasi positif terhadap work-Family Conflict. Sedangkan untuk variable control presence of work-family policies dan Job disfaction mempunyai hubungan yag negative, sementara use of work family pliticies berkorelasi positif. Untuk variable moderating(work family conflict terhadap stress mempunayi hubungan yang positif.
Dengan Stress yang dialami karyawan dalam organisasi secara terus menerus akhirnya dapat menimbulkan burnout, dimana hal ini dapat mengakibatkan dampak negatif tidak hanya pada interpersonal individu , namun juga mempengaruhi hubungan interpersonal individu dan juga hubungan dengan pekerjaan atau organisasi sehingga dapat merugikan performasi individu maupun organisasi.Untuk mengatasi permasalahan ini, organisasi harus menciptakan kualitas kehidupan kerja yang bagus dan kondusif bagi pekerja.
Referensi
Colquitt, J. A., Conlon, D.E., Wesson, M.J., Porter, C., Ng, K.Y. (2001). Justice at the Millennium: A meta-analytic review of 25 years of organizational justice research. Journal of Applied Psychology, 86(3), 425-445.
Cropanzano, R., & Ambrose, M. L. (2001). Procedural and distributive justice are more similar than you think: A monistic perspective and a research agenda. In J. Greenberg & R. Cropanzano (Eds.), Advances in organizational justice (pp. 119-151). Stanford, CA: Stanford University Press.
Cropanzano, Russell ., Byrne, Zinta S., Bobocel, D. Ramona dan Rupp, Deborah E. (2000), Moral Virtues, Fairness Heuristics, Social Entities, and Other Denizens of Organizational, Journal of Vocational Behavior, Volume 58, Issue 2, April 2001, Pages 164-209
Donovan, J.J. (2001). Work motivation. In N. Anderson, D.S. Ones, & H.K. Sinangil (Eds), The Handbook of Industrial, Work, and Organizational Psychology (pp. 53-76). London: Sage Publications
Judge, T. J., & Colquitt, J. A. (2004). Organizational justice and stress: The mediating role of work- family conflict. Journal of Applied Psychology, Vol. 89,
Parker dan Kohlmeyer (2005), Enhancing role breadth self-efficacy: The roles of job enrichment and other organizational interventions. Journal of Applied Psychology, 83(6), 835–852.
Schaubroeck, Lam, S., dan Aryee, S, (2002), Relationship between organizational justice and employee outcomes: A cross-national study. Journal of Organizational Behavior, 23, 1-18.
Tyler , Tom R, dan Blader, (2000), http://press.princeton.edu/chapters/p8230.html, Unduh tanggal 10 Juni 2010.
Van den Bos, K., dan Lind, E. A. (2002). Uncertainty management by means of fairness judgments. In M. P. Zanna (Ed.), Advances in experimental social psychology (Vol. 34, pp. 1-60). San Diego, CA: Academic Press.
Van den Bos, K., Lind, E. A., Vermunt, R., & Wilke, H. A. M. (2001). How do I judge my outcome when I do not know the outcome of others? The psychology of the fair process effect. Journal of Personality and Social Psychology, 72, 1034-1046
Vermunt, Riel dan Steensma, Herman, (2001), (Un)Sound management. Three laboratory experiments on the effects of social nonacoustical determinants of noise annoyance, Inter-noise, USA
Wallace, David, (2005), Quantum Probability from Subjective Likelihood: improving on Deutsch's proof of the probability rule, http://arxiv.org/abs/quant-ph/0312157, Tgl 12 Juni 2010,
0 komentar:
Posting Komentar